Hi Mom...
Di zaman serba digital dan dunia seperti dalam genggaman karena semua bisa dilakukan dengan sekali klik, saya sebagai orang tua cemas dong. Mereka ini lebih pintar dan canggih buat ngulik-ngulik sesuatu yang baru.
Untungnya ketika Nayla Masih balita dia sama sekali tidak terpapar dengan segala macam gadget. Lebih banyak bersepeda atau main sama teman-temannya dan tontonan favoritnya Barney dan Frozen.
Ketika anak saya masih SD (waktu itu sudah kelas 6 SD) dan SMP pemakaian gadget atau ponsel yang kita berikan ke Nayla, masih bisa dikendalikan.
Ponsel yang kita berikan hanya digunakan saat dia di sekolah untuk memesan ojek online, sampai di rumah langsung saya simpan.
Dia dapat ekstra bonus main ponsel lebih lama kalau akhir pekan, selama 3 tahun cara ini bisa berjalan lancar. Tapi ketika pandemi saat dia kelas 2 SMP dan harus belajar online dengan ponsel dan laptop, aturan tersebut buyar total๐.
Akibatnya minus di matanya bertambah dan kita kerap berdebat ngeyel-ngeyelan hanya masalah ponsel yang dia gunakan sampai malam, alasannya banyak tugas kelompok lewat grup Whatsapp.
Kalau mau dipikir-pikir orang tua juga sama bersalahnya, lah wong kita yang beliin ponselnya terus kita juga yang kasih fasilitas biar lancar sekolahnya.
Lagi-lagi alasan kita karena tidak bisa membiarkan anak kita ketinggalan pelajaran baik itu belajar kelompok atau apapun pelajaran online lewat hape.
Akhirnya dicari jalan tengah kalau sedang jalan ke luar rumah, kumpul bertiga di ruang tamu atau sedang makan, saya meminta suami dan Nayla untuk meletakkan hapenya sejenak. Minimal kita bisa ngobrol tanpa harus terpaku terus di layar ponsel.
"Achmad Irfandi. Foto: Koleksi Achmad Irfandi.jpeg" |
Pemuda yang resah dengan fenomena kecanduan ponsel ini bernama Achmad Irfandi. Dia prihatin sekali akan masa depan anak-anak di era teknologi tinggi ini.
Pemuda yang punya hobi membuat sesuatu yang baru dan belum pernah dilakukan orang lain ini putar otak untuk mencari cara bagaimana agar anak-anak usia dini yang ada di lingkungan tempat tinggalnya minimal bisa sejenak melepaskan ponsel dari tangannya.
Proyek Kampung Lali gadget
Lali itu bahasa Jawa yang artinya Lupa yang menjadi bagian dari nama proyek mereka kelak, Kampung Lali Gadget atau ponsel. Seperti yang saya baca dari bahan-bahan yang diberikan Achmad Irfandi kepada saya melalui WA.
"Foto: Koleksi Achmad Irfandi.jpeg" |
Caranya dimulai dengan mengadakan konservasi budaya yang mengangkat beragam jenis permainan tradisional. Seperti egrang, klompen panjang, klompen bambu, gasing, tekotek, suitan hingga dakon.
"Foto: Koleksi Achmad Irfandi.jpeg" |
"Foto: Koleksi Achmad Irfandi.jpeg" |
"Foto: Koleksi Achmad Irfandi.jpeg" |
Wah kok bisa mereka juga berjualan mainan ini di e-commerce?, kita bahas nanti ya. Balik lagi ke Kampung Lali Gadget yang mulai resmi didirikan sejak 1 April 2018.
"Keluar dari rumah dan bermainlah!" yang mereka serukan terus menerus adalah untuk mengajak anak-anak untuk sejenak meletakkan ponsel mereka dan bermain bersama.
Wah ini sih saya setuju sekali dengan konsep kalau anak-anak usia dini harusnya lebih banyak melakukan permainan yang bisa melatih otot motorik mereka.
Seperti waktu Nayla usia lima tahun tapi sudah lulus taman kanak-kanak, kita tunda setahun untuk memasukkannya ke Sekolah Dasar (SD) apalagi umurnya belum cukup untuk masuk SD. Kita daftarkan Nayla ke tempat balet dan menari, dua hal yang dia suka saat itu.
Makanya konsep Kampung Lali Gadget ini sesuai dengan yang diinginkan orangtua untuk anaknya, karena pada dasarnya tugas anak itu ya bermain dan belajar sesuatu yang baru. Bukan malah berdiam di rumah sembari menatap layar ponsel ya kan.
Karena menurut Irfandi yang biasa disapa Cak Suk atau kadang mas Ir ini dampaknya buruk banget loh kecanduan ponsel pada anak, mereka jadi kurang bersosialisasi dengan sekitar dan dengan teman-temannya.
Tidak hanya itu pikiran anak jadi tidak fokus dan emosinya tidak stabil. Kadang mereka jadi suka tantrum dan tidak bisa mengutarakan apa yang mereka inginkan.
Awalnya meminjam tanah milik warga desa
Proyek mimpi untuk anak-anak sempat tidak berjalan karena mereka tidak punya lokasi untuk mewadahi proyek ini. Akhirnya Irfandi memberanikan diri untuk meminjam tanah berukuran 45 x 50 m milik warga desa alias tetangganya sendiri.
Tidak hanya itu dia juga mengajak rekan-rekannya, dan sejumlah pemuda di Desa Pagerngumbuk dan Sidoarjo. Mereka diajak untuk ikut berpartisipasi di proyek mimpinya yang waktu itu belum bernama Kampung Lali Gadget, sebagai perencana, fasilitator, edukasi, dan pendamping.
Karena akan ada banyak sekali aktivitas yang digelar melalui program ini meliputi edukasi budaya, kearifan lokal, olahraga, edukasi satwa, dan permainan tradisional.
"Foto: Koleksi Achmad Irfandi.jpeg" |
"Foto: Koleksi Achmad Irfandi.jpeg" |
Nah saat program sudah sampai di agenda ketiga (ada sekitar 475 anak ke sana untuk bermain) barulah tercetus pertama kali nama Kampung Lali Gadget (KLG) yang dipakai hingga saat ini.
Kenapa anak-anak ini bisa betah bermain di KLG? alasannya mereka diajak bermain secara tematik dan berbeda-beda setiap akhir pekan, jadi gak pernah bikin bosan.
"Foto: Koleksi Achmad Irfandi.jpeg" |
Kegiatan ini sudah bisa dibayangkan pasti menarik minat anak-anak. Kenapa tidak, biasanya kan mereka dilarang untuk bermain yang bikin baju mereka kotor tapi di sini berbeda malah disediakan lahan lumpur untuk mereka eksplorasi.
"Foto: Koleksi Achmad Irfandi.jpeg" |
Donasi swadaya dari komunitas
Masalah dana untuk menghidupi kegiatan untuk orang banyak biasanya jadi masalah utama. Apalagi mereka iuran dan benar-benar mendanai sendiri kegiatan dengan donasi swadaya dari komunitas.
Karena semua kegiatan memakai dolanan atau mainan tradisonal, Irfandi dan teman-teman berpikir untuk membuat dan menjualnya sebagai souvenir bagi pengunjung.
Bahkan mereka juga membuat Udeng atau penutup kepala loh untuk dijual sebagai souvenir coba deh cek online shop mereka di Shopee.
"Achmad Irfandi.Foto: Koleksi Achmad Irfandi.jpeg" |
Gak main-main keterlibatan warga sekitar terhadap kegiatan ini terus berkembang hingga ada sekitar 100 penggerak dolanan. Ternyata yang terinspirasi dan terdorong untuk ikut dengan kegiatan positif ini bukan hanya warga sekitar Irfandi tapi juga mereka yang pernah berkunjung ke sana.
Hasilnya dirasakan lebih dari 10.000 anak mendapatkan edukasi yang bermanfaat, karena ada lebih dari 120 jenis permainan klasik hingga 10.000 alat mainan tradisional diedarkan di komunitas.
Pengunjung berdatangan dari 15 provinsi dan 12 negara untuk belajar di KLG. Menurut catatan ada lebih dari 200 lembaga pendidikan atau komunitas yang berkolaborasi dan lebih dari 30 tema permainan tradisional di eksplorasi di sana.
Semoga gerakan baik yang dilakukan Achmad Irfandi untuk melestarikan budaya tradisional dan menyelamatkan anak-anak dari kecanduan gawai bisa menjadi semangat untuk hari ini dan masa depan Indonesia.
Mas ir juga berharap apa yang dia lakukan dengan teman-temannya bisa mendorong dan menginspirasi pemuda lainnya untuk ikut membangun dan mensejahterakan lingkungan sekitar.
Apresiasi dari ASTRA
Saat mewujudkan mimpinya pemuda yang suka semua sayuran ini tidak pernah berharap mendapat penghargaan atau apapun yang sejenis.
Tapi karena dirinya bisa menyebarkan semangat karena telah menginspirasi banyak orang serta memberikan kontribusi nyata untuk hari ini dan masa depan Indonesia lewat bidang pendidikan di Kampung Lali Gadget, pada tahun 2021 dia mendapat penghargaan Semangat ASTRA Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Award.
"Foto: Koleksi Achmad Irfandi.jpeg" |
Semangat Mas Ir dan teman-teman semoga lain kali saya dan keluarga juga bisa berkunjung ke Kampung Lali Gadget.
"Wawancara by WA dengan Achmad Irfandi.jpeg" |
Komentar
Posting Komentar