Hi Mom...
Ketika memutuskan untuk menikah, biasanya pasangan suami istri ini juga merencanakan untuk punya momongan ya kan. Sama seperti yang saya dan suami rencanakan waktu itu.
Bedanya waktu itu saya kepinginnya punya anak hanya satu saja, kebetulan suami juga satu visi. Tentunya dengan pertimbangan matang karena saya mengidap darah tinggi, yang juga diidap sama kakak tertua saya.
Darah tinggi yang membuat dia harus melahirkan secara cesar, mengalami eklamsia (komplikasi kehamilan karena darah tinggi bahkan mengalami kejang) sampai akhirnya saat dia melahirkan darah yang keluar banyak banget sampai harus cari donor darah di PMI.
Pengalaman kakak yang seperti ini bikin saya trauma, rasanya gak pingin hamil tapi ya tetep mau punya anak dari rahim sendiri. Makanya semasa hamil saya yang waktu itu masih kerja, gak pernah telat kontrol ke dokter kandungan.
Walaupun masih tetap juga ngalamin pra-eklamsia seperti kaki bengkak bahkan harus melahirkan secara cesar karena ketuban sudah pecah tapi bukaan lahir stuck di pembukaan dua yang bisa menyebabkan keracunan buat bayi, karena si darah tinggi tadi.
Kebayang gak bagaimana nasib ibu hamil yang berada di pedalaman jauh dari rumah sakit atau puskesmas, bagaimana caranya mereka tahu kandungannya baik-baik saja. Belum lagi kalau mereka tidak punya biaya untuk melakukan kontrol tiap bulan.
Seperti yang terjadi di daerah terpencil Desa Tunggal Rahayu Jaya, Teluk Belengkong, Indragiri Hilir, Riau. Untuk keperluan sehari-hari saja mereka berat karena kebanyakan, penduduk Desa Tunggal Rahayu Jaya bekerja sebagai buruh pengangkut kelapa.
"Dari Website Satu Indonesia award 1.jpeg" |
Di tempat inilah lulusan Akademi Kebidanan di Padang, Sumatera Barat bernama Rosmiati ditugaskan pada tahun 2008 sebagai bidan pegawai tidak tetap (PTT) di Desa Tunggal Rahayu Jaya.
Sebagai satu-satunya bidan di desa yang pada tahun 2008 berpenduduk 1030 jiwa dengan 274 kepala keluarga (KK) itu, dia melihat angka kematian ibu dan bayi yang relatif tinggi di sana.
Karena saat itu dia satu-satunya bidan, Rosmiati merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan nyawa ibu dan calon bayinya. "Sedih rasanya kalau ada ibu dan bayi yang meninggal," ujarnya.
"Dari Website Satu Indonesia award 2.jpeg" |
Jangankan untuk kontrol bayi ke dokter, untuk makan sehari-hari saja mereka serba kekurangan. Rosmiati harus putar otak, cari jalan keluar sesuai kemampuan dan bidang yang dia kuasai.
Setahun berselang sejak ia ditugaskan di desa itu ia punya ide untuk membuat program Tabungan Ibu Bersalin (TIB), yang ditujukan khusus bagi ibu-ibu akan menjalani persalinan. Tabungan itu dia gulirkan melalui musyawarah dengan pemerintah setempat dan warga khususnya para ibu-ibu.
Mulai dari perencanaan hingga aplikasi di lapangan dilakukannya sendirian. Tapi tentu saja dia melibatkan perangkat desa dan kader posyandu serta PKK setempat untuk membantu.
Pada awalnya rencananya seperti ini pastinya menemukan halangan, seperti yang kita tahu penghasilan penduduk Desa Tunggal Rahayu Jaya yang kurang begitu baik menyebabkan awalnya mereka enggan mengikuti program ini.
Jangankan menabung, untuk keperluan sehari-hari saja mereka berat. Tidak ada uang tersisa untuk mereka tabung tapi dia menganjurkan kaum ibu yang sudah diketahui hamil mulai menabung untuk biaya persalinan.
"Dari Website Satu Indonesia award 3.jpeg" |
Walau sesuai kemampuan dia meminta minimal angka angka tabungan 350 ribu selama masa kehamilan. Tujuannya biar tidak terjadi kendala saat ada kondisi mendesak, seperti biaya transportasi ketika ibu hamil atau bumil harus dirujuk ke rumah sakit karena terjadi eklamsia misalnya.
Seandainya kehamilan tidak bermasalah, dan diperkirakan bisa melahirkan secara normal melalui bidan Rosmiati ini, uang tabungan tersebut bisa digunakan satu kali saat USG (ultrasonografi) di RS Raja Musa di Guntung.
Dalam standar pelayanan bumil, USG memang harus dilakukan minimal satu kali selama masa kehamilan, yakni saat bulan ketujuh. Seperti yang saya lakukan dulu, bedanya saya tiap bulan periksa kehamilan bahkan sempat melakukan senam hamil segala, saat kepala Nayla anak saya belum sampai di jalan lahir.
Makanya Rosmiati gak pernah bosan, menekankan pentingnya USG setiap kali memberikan penyuluhan kepada bumil. Sebab dari USG itu dapat diketahui bagaimana kondisi bayi, kondisi ibu dan bagaimana kemungkinan persalinannya apakah bisa normal atau harus cesar.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS saat itu memang sudah ada biaya kesehatan termasuk melahirkan memang dijamin tapi biaya transportasi ya gak diganti.
Dalam praktiknya, program ini memang banyak memberi manfaat kepada warga. Baik pemerintah desa maupun warga pun menyambut baik dan menjalaninya dengan antusias. Apalagi, tabungan tersebut disesuaikan dengan kemampuan masing-masing warga.
Program Dana Desa
Tidak berhenti hanya di Tabungan Ibu Bersalin, bidan Ros punya ide lain lagi untuk membuat program Dana Sehat untuk seluruh penduduk Desa Tunggal Rahayu Jaya.
Caranya juga tidak memberatkan warga desa untuk mengikuti kedua program itu, setiap Kepala Keluarga (KK) Desa 29 Tunggal Rahayu Jaya cukup menyisihkan uang sebesar 2.000 rupiah per bulan.
Buah pikirnya itu, sungguh membuat warga saling membahu dalam kebersamaan peduli kesehatan, hingga kini. Iuran sekecil itu dampaknya ternyata besar loh.
Sebab, dana ini digunakan untuk bantuan transportasi bagi setiap warga yang sakit yang perlu dirujuk ke RS Raja Musa di Guntung atau RS Puri Husada Tembilahan.
Berbeda dengan TIB, yang khusus untuk bumil, program Dana Sehat ini untuk semua penyakit. Karena sebagai bidan desa, Rosmiati sebenarnya tugasnya sama dengan mantri di zaman dulu, tidak hanya membantu melahirkan tapi juga mengobati semua jenis penyakit.
Dari demam hingga sakit gigi ditanganinya, usia pasien pun beragam dari bayi hingga lansia. Nah baru untuk situasi tertentu, diperlukan rujukan ke rumah sakit. Disitulah uang dana sehat diberikan sebagai biaya transportasi.
Sama halnya dengan TIB awalnya program tabungan dana sehat juga mendapat penolakan dari sebagian warga. Tapi karena merasakan benar manfaatnya, mereka mulai ikut menabung.
Selama ini desa juga punya dana sosial desa untuk bantuan biaya transportasi bagi yang sakit. Tapi harus melalui proses pengajuan dulu dan itu butuh waktu. Sedangkan dana sehat bisa langsung diberikan ketika ada pasien yang perlu dirujuk.
Nah ternyata nih di tahun 2012 diam-diam Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Cabang Inhil mengajukan namanya dalam program SATU Indonesia Awards dari PT Astra International Tbk. Karena pekerjaannya membantu warga desa plus dua program yang dia buat dianggap cukup fenomenal.
Setelah melalui proses verifikasi tanggal 20 Oktober 2012 dia dinyatakan layak mendapatkan penghargaan sebagai penggerak kesehatan ibu dan anak. Penghargaan diberikan pada 20 Oktober 2012.
Sayangnya waktu itu dia sedang hamil tua (sebentar lagi melahirkan) jadi tidak terbang ke Jakarta untuk menerima penghargaan. Tapi sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasihnya dia menamakan anaknya dengan nama Astra, keren banget.
Bidan Rosmiati memang pantas mendapat penghargaan ini karena dengan dedikasinya dan dua program yang dia buat warga merasa terbantu.
Karena buat dia yang paling penting dari pekerjaannya sebagai bidan adalah membantu sesama dan menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa warga desa yang mengalami sakit.
"Dari Website Satu Indonesia award 4.jpeg" |
Kebayangkan hal yang kecil bisa jadi penyemangat warga desa ditempat terpencil bahwa akan ada jalan keluar dari semua kesulitan mereka demi masa depan Indonesia pastinya.
Komentar
Posting Komentar