Jadi juara kelas bukan keharusan buat Nayla. Kami selalu
bilang tidak juara gak apa-apa, yang penting naik dan masuk 10 besarlah
minimal.
Seperti dulu almarhum Bapak tercinta memperlakukan gw ketika
kecil. Cuma gw yg gak pernah juara kelas. Kakak gw juara umum malah, adik gw
juara kelas.
Tapi bapak paling membanggakan gw. Karena kalau cerita
tentang gw ke temannya, dia selalu lebih panjang dan selalu ada embel-embel
“anak saya yang ini raportnya bisa ditebak kalau sudah kenaikan kelas pasti
bagus, dan selalu 9 untuk ips”
Hi…hi… gw jago di pengetahuan umum dan kreatif, walaupun gak
pernah juara kelas. Jadi kami mau nayla juga begitu.
Alhamdullilah, Kelas satu semester 1 rangking 8, smester 2 naik jadi
rangking 4. Kelas dua, smester 1 gak pakai rangking.
Nah pas smester 2 alias smester kenaikan kelas dr kelas dua
ke klas tiga, Nayla sudah bilang, “mama senang kalau nayla rangkingnya naik”,
senang dong
“Mama gak apa-apa kalau nayla gak juara satu”, ya gak apa-apa
nak rangking gak turun aja mama sudah senang, yang penting kamu ngerti
pelajarannya.
Ketika pop tanya siapa di kelas yang pintar, dia bilang
“Alisya pop, kalau dia 100 nayla 95”. Sampai hari H nya pun Nayla tetap
menjagokan Alisya.
Makanya pas upacara pemberian hadiah, dia tepuk tangan
dengan kencang dan senyum2 ke gw, ketika nama Alisya disebut, walaupun Alisya
ternyata juara dua, juara satunya Viona.
Dan ketika namanya di panggil Alanis Nayla Ramadhani sebgai
juara ke tiga dari kelas Melati, dia langsung memandang gw sambil teriak senang (pas pulang dia baru
cerita, kalau dia mau nangis ketika namanya disebut).
Aaaaah anak mama yang rendah hati, dia senang mendukung
temannya, makanya gak nyangka kalau dia juga juara kelas. Selamat ya nak,
belajar yang rajin, jadi juara hanya salah satu efek kamu belajar. Mengerti
materi isinya yang lebih penting ya.
Komentar
Posting Komentar